Oleh Anis Matta
(sumber ; Wikipedia) |
Membebaskan Konstantinopel bukanlah pekerjaan mudah bagi seorang
pemuda berusia 23 tahun setangguh Muhammad al-Fatih Murad. Pembebasan pusat kekuasaan Imperium Romawi itu, kata
orientalis Hamilton Gibb, adalah mimpi delapan abad dari kaum muslimin. Semua
serangan gagal meruntuhkan perlawanan kota itu di sepanjang abda-abad itu. Dan
serangan-serangan awal Muhammad al-Fatih Murad juga mengalami kegagalan.
Kegagalan itu sama dengan kegagalannya sebagai pemimpin negara, ketika pada
usia 16 tahun ayahnya menyerahkan kekuasaan kepadanya.
Akan tetapi, bila Muhammad al-Fatih kemudian berhasil
merebut kota itu, kita memang perlu mencatat pelajaran ini: “Bagaimana seorang
pahlawan dapat melampaui kegagalan-kegagalannya dan merebut takdirnya sebagai
pahlawan?”
Rahasia pertama adalah mimpi yang tidak selesai. Kegagalan
adalah perkara teknis bagi sang pahlawan. Kegagalan tidak boleh menyentuh
setitik pun wilayah mimpinya. Mimpi tidak boleh selesai karena kegagalan. “Dan
tekad seperti ini akan merubah rintangan dan kesulitan menjadi sarana mencapai
tujuan,” kata Said bin al-Musayyib.
Begitulah, tekad mereka melampaui kegagalan, sampai
rintangan yang menghadang jalannya tak sanggup menatap mata tekadnya, maka ia
tunduk, lalu memberinya jalan menuju penghentian terakhir dari mimpinya. “Kalau
tekad seseorang benar adanya, maka jalan menuju tujuannya pastilah jelas,” kata
pepatah Arab.
Rahasia kedua adalah semangat pembelajaran yang konstan.
Seorang pahlawan tidak pernah memandang dirinya sebagai Superman atau malaikat.
Ia tetaplah manusia biasa. Dan kegagalan merupakan bagian dari tabiat kehidupan
manusia, maka ia “memaafkan” dirinya untuk kegagalan itu. Namun, ia tidak
berhenti sampai di situ. Kegagalan adalah objek pengalaman yang harus
dipelajari, untuk kemudian dirubah menjadi pintu kemenangan. Demikianlah
seharus kita mendefenisikan pengalaman: bahwa ia dalah investasipembelajaran
yang membantu proses penyempurnaan seluruh faktor keberhasilan dalam hidup.
Rahasia ketiga adalah kepercayaan pada waktu. Setiap
peristiwa ada waktunya, maka setiap kemenangan ada jadwalnya. Ada banyak rahasia
yang tersimpan dalam rahim sang waktu, dan biasanya tidak tercatat dalam
kesadaran kita. Akan tetapi, para pahlawan biasanya mempunyai cara lain untuk
mengenalinya, atau setidaknya meraba-rabanya, yaitu firasat. Mereka
“memfirasati zaman,” walaupun ia mungkin benar mungkin salah, tetapi ia berguna
untuk membentuk kecerendungannya. Firasat bagi mereka adalah faktor intuitif
yang menyempurnakan faktor rasional. Perhitungan-perhitungan rasional harus
tetap ada, tetapi keputusan untuk melangkah pada akhirnya bersifat intuitif.
Begitulah akhirnya takdir kepahlawanan terjembatani dengan firasat untuk sampai
ke kenyataan.
*keterangan: judul dan artikel ini diambil dari buku Mencari Pahlawan Indonesia karya Anis Matta