Oleh Hanesta Maulana
Al- Qur’an adalah pedoman umat
muslim di dunia, di dalam suatu negara khususnya Indonesia yang merupakan
negara hukum sangat dianjurkan berpegang teguh dengan Al- Qur’an dalam
menjalankan hukum di Indonesia. Menurut
A.R. Taj yang dikutip oleh Ahmad Sukardja
bahwa setiap umat atau bangsa boleh mempunyai aturan- aturan dan khusus sesuai
dengan adat. Al – Qur’an telah menerapkan nilai dasar pemerintahan misalnya
dalam QS Al- Nisa 58- 59.
Ayat tersebut mengandung tiga prinsip dasar dalam bernegara, yaitu tentang prinsip
amanah, tentang prinsip
penerapan hukum secara adil dan tentang prinsip ketaatan. Menurut Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar amanat dari
ayat tersebut adalah sesuatu yang di amanahkan kepada seseorang untuk
dijalankan dengan sebaik- baiknya.
Salah satu dari sifat amanat yang dimiliki oleh
manusia adalah sifat adil yang mana tidak memandang perbedaan di dalam
penegakan hukum. Ada 3 kategori hukum dalam pergaulan masyarakat, yaitu syari’at
: keetentuan Allah yang berkaitan dengan perbuatan subjek hukum dan bersifat
tetap tidak ada perubahan dan perbedaan pendapat, fiqh : pemahaman tentang
hukum-hukum syara’ yang bersifat perbuatan yang dipahami dari dalil-dalilnya
yang rinci dan dari hasil ijtihad para ulama dari Qur’an dan Hadis yang
mana ada perbedaan pendapat, syiyasah syari’ah : kewenangan pemerintah untuk
melakukan kebijakan yang dikehendaki oleh kemaslahatan, melalui aturan yang
tidak bertentangan dangan agama, meskipun tidak adil tapi ada dalil tertentu.[1]
Mohammad
Hatta dalam proklamasinya mengatakan hukum di Republik Indonesia itu
berdasarkan Al- Qur’an dan Hadis yang dapat digunakan dalam peraturan
perundang- undangan oleh umat Islam dalam sistem syari’at yang sesuai dengan
kondisi Indonesia.
Contohnya : UU Perkawinan tahun 1974
yang direvisi usia menikah dibatasi perempuan 16 tahun dan laki- laki 19 tahun,
salah satu pandangan dari Quraish Shihab
“ Banyak
ulama mengatakan karena Nabi Muhammad SAW kawin dengan Aisyah yang berumur
sekitar 9- 12tahun. Tetapi dalam fatwa ulama-ulama yang memahami hal ini, maka
dikatakan bahwa orang yang menjadikan hal ini sebagai dalih adalah orang yang
bodoh dan sombong. Bodoh karena tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi
pada masa itu dan sombong karena menyamakan dirinya dengan Nabi Muhammad SAW. Jadi
jangan jadikan itu sebagai dalih,”
MUI
menegaskan bahwasanya Islam tidak membatasi usia untuk masalah perkawinan.
Dalam agama Islam hanya mengatur baligh seseorang dengan beberapa tanda. Untuk
anak perempuan sudah berusia 9 tahun atau pernah mengalami haid dan untuk
laki-laki yang sudah berusia 9 tahun dan pernah mengalami mimpi
basah dan apabila keduanya beranjak 15 tahun tanpa syarat haid dan mimpi basah.
Akhirnya
penetapan batas usia perkawinan disetujui para ulama di DPR dan luar DPR dengan
catatan membuka ruang dispensasi dengan alasan tertentu dikarenakan pada saat itu
banyak pernikahan dibawah umur 16 tahun. Dengan penetapan batas usia tersebut
bagi perempuan yang terumuskan dalam Pasa 7 ayat ( 1 ) UU Perkawinan agar tidak
terjadi kesenjangan terlalu jauh dengan usia kedewasaan ( baligh ) [2]