(Ketua PW PERAK JATIM dan Co Founder Momilenial.id)
[WARTANUSANTARA.ID] Sebagai ibu dari seorang anak perempuan, saya sering merasa dunia ini terlalu bising dan terlalu kasar. Tapi beberapa minggu terakhir, saya merasakan keresahan yang lebih dalam dari biasanya. Dimulai dari berita pemerkosaan di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung—seorang dokter peserta program pendidikan spesialis diduga memperkosa pendamping pasien. Bukan di tempat gelap, bukan di jalanan sepi, tapi di rumah sakit. Tempat yang seharusnya menjadi ruang pemulihan, malah jadi tempat ketakutan baru.
Lalu saya bertanya dalam hati: di mana sebenarnya ruang aman untuk perempuan?
Saya bukan aktivis hukum atau psikolog forensik. Saya hanya ibu biasa yang membayangkan—bagaimana kalau itu terjadi pada anak saya? Bagaimana kalau ruang-ruang yang saya kira aman justru menyimpan ancaman tersembunyi?
Dan ternyata, kejadian di RSHS bukan satu-satunya. Dalam tiga bulan terakhir, kasus kekerasan seksual terus bermunculan. Komnas Perempuan mencatat kejadian di Lombok di mana pelaku adalah penyandang disabilitas. Lalu baru-baru ini terjadi, pelecehan di salah satu stasiun di Jakarta. Sementara data SIMFONI-PPA mencatat lebih dari 5.000 kasus kekerasan terhadap perempuan sejak awal tahun. Itu yang tercatat. Kita tahu, angka sesungguhnya mungkin jauh lebih tinggi.
Saya ingat kutipan dari Brene Brown
"Vulnerability is the birthplace of courage."
Tapi bagaimana perempuan bisa berani jika mereka tak merasa aman bahkan di tempat yang seharusnya melindungi?
Sebagai orang tua, saya mencoba sekuat tenaga mendidik anak saya untuk berani berkata “tidak”, untuk percaya bahwa tubuhnya adalah miliknya, dan untuk tahu bahwa tidak ada satu pun orang yang boleh menyakitinya, dengan alasan apa pun. Tapi kadang saya merasa sendirian dalam perjuangan ini.
Karena perlindungan perempuan tidak bisa hanya dibebankan kepada keluarga. Kita butuh sistem. Butuh sekolah yang mengajarkan pendidikan seksualitas dengan sehat, bukan rasa tabu. Butuh rumah sakit yang punya prosedur pengawasan internal yang tegas. Butuh aparat hukum yang benar-benar berpihak pada korban, bukan malah menyalahkan pakaian atau jam malam.
Dan kita, sebagai masyarakat, perlu belajar berhenti menyalahkan perempuan. Karena ruang aman bukan tentang "jangan pakai baju ini" atau "jangan pulang malam", tapi tentang menciptakan dunia di mana kejahatan tidak diberi ruang untuk tumbuh.
Saya mungkin cuma satu suara kecil. Tapi saya tahu, kalau kita terus bicara—dengan marah, dengan sedih, dengan cemas, bahkan dengan rasa cinta yang besar—maka suara kita bisa bergema lebih jauh.
Untuk anak perempuan saya. Untuk anak-anak perempuan lainnya. Untuk perempuan yang pernah menjadi korban dan belum bisa bicara.
Saya ingin dunia ini jadi tempat yang aman.
Dan saya tahu, saya tidak sendiri.
Surabaya, 9 April 2025
-Keresahan sebelum maghrib-