Berdakwah melalui jalur politik, dan berpolitik melalui jalur dakwah.
M.Natsir.
Saya masih ingat betul kata-kata tersebut dari sebuah buku kecil hasil wawancara dengan beliau. Buku itu saya dapatkan ketika ikut seminar 100 TAHUN M.NATSIR BERDAMAI DENGAN SEJARAH di kampus UNISBA (Universitas Islam Bandung). Entah di mana buku kecil itu sekarang. Buku itu hasil wawancara ketika M.Natsir sudah tidak berpolitik lagi akibat pelarangan oleh rezim Orba.
Saya memahami betul kata-kata
beliau. Tak ada pemisahan antara politik dan dakwah, keduanya saling berkaitan
dan menguatkan satu sama lain. Politik tanpa dakwah ibarat berdiri dengan satu
kaki yang mudah saja roboh seketika, begitu pula sebaliknya. Baiklah saya akan
menguraikan peran-peran beliau ketika aktif berdakwah sambil berpolitik dan berpolitik sambil berdakwah.
M. Natsir dilahirkan pada tanggal
17 Juli 1908 dan di besarkan di Solok Sumatra Barat. Lalu pindah ke Bandung
untuk melanjutkan pendidikannya di AMS selevel SMU. Di Bandung lah mulai
bersentuhan dengan politik. Selain bergabung dengan Persatuan Islam, beliau pun
aktif di gerakan Jong Islamieten Bond cabang Bandung dan Partai Islam
Indonesia. Menurut Ahmad Mansur Suryanegara, M. Natsir merupakan pembangkit
kesadaran nasional dengan pengertian gerakan nasional sebagai gerakan
menanamkan kesadaran cinta tanah air, bangsa, dan agama.
M.Natsir pernah bekerja dengan
posisi sebagai Kepala Biro Pendidikan Bandung. Pada masa pendudukan Jepang,
beliau memilih bergabung dengan Majelis Islam A’la Indonesia yang kemudian hari
berubah Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau disingkat MASYUMI. M. Natsir
pernah terlibat perang pena dengan Soekarno terkait Politik Islam.
Setelah proklamasi Kemerdekaan
Indonesia, M. Natsir menjadi anggota Komite
Nasional Indonesia Pusat. Ia pun pernah
diangkat menjadi Menteri Penerangan sebelum diangkat menjadi Perdana Menteri. Pada
tanggal 3 April 1950, beliau sebagai ketua fraksi Masyumi mengajukan Mosi Integral Natsir dalam sidang pleno
DPRS-RIS. Pada waktu itu Indonesia terbagi dalam beberapa negara bagian. Mosi Integral Natsir merupakan sebuah hasil
keputusan parlemen untuk menyatukan negara-negara bagian ke dalam sistem
Kesatuan Negara Republik Indonesia. Karena jasa ini lah, beliau pernah diangkat
menjadi Perdana Menteri oleh Presiden Soekarno, namun hal ini tidak berlangsung
lama karena terjadinya perbedaan antara beliau dengan Presiden Soekarno pada
waktu itu.
Setelah pemilu tahun 1955
menempatkan partai Masyumi menjadi partai terbesar kedua setelah PNI yang
dipimpin oleh Soekarno. M. Nastir sangat gigih memperjuangkan Islam sebagai
asas Negara dalam sidang Konstituante. Pada akhirnya sidang tersebut dibubarkan
dengan adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pada saat itu juga Presiden Soekarno
dan PKI berhubungan baik.
M. Natsir terlibat dalam PRRI
sebagai bentuk protes kepada pemerintahan pusat yang dipimpin Soekarno mengenai
ketidakadilan masalah otonomi daerah dan kedekatan Soekarno dengan PKI. Karena keterlibatan
ini, M. Natsir dipenjarakan oleh Soekarno di Malang dari tahun 1962 hingga
1964, dan dibebaskan pada masa Orde Baru pada tanggal 26 Juli 1966.
Walaupun hak politiknya dicekal
oleh Presiden Soeharto pada masa Orba, M. Natsir ikut terlibat dalam
organisasi-organisasi Islam. Beliau aktif di Rabithah Alam Islami dan
Majelis Ala al-Alami Lil Masjid yang
berpusat di Mekkah, Pusat Studi Islam Oxford (Oxford Center For Islamic Studies) di Inggris, dan Liga Muslim
se-Dunia (World Muslim Congress) di
Karachi, Pakistan. Beliau pun mendirikan yayasan Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia (DDII) yang sampai sekarang masih eksis. Saya menganggap M. Natsir
menguasai bahasa asing dengan baik yang membuatnya bisa terlibat pada
lembaga-lembaga skala internasional.
M. Natsir telah menulis sebanyak
45 buku. Beliau punya jasa pada zaman Orba, ia mencairkan hubungan Malaysia
dengan Indonesia, mengontak Kuwait untuk menanam modalnya di Indonesia, dan
meyakinkan Pemerintahan Jepang tentang kesungguhan Orde Baru membangun ekonomi.
Walaupun pada saat zaman Orba (Orde baru) hak politik beliau betul-betul
dicekal.
Itulah sekiranya kita dapat
memahami kata-kata beliau tentang Berdakwah
melalui jalur politik dan berpolitik melalui jalur dakwah. Baginya politik dan
dakwah tidak dapat dipisahkan. Keduanya saling menguatkan satu sama lain.
Selesai di Gunung Gede Pangrango
yang dingin
Sumber rujukan:
1. Buku
M.Natsir, 100 Tahun Berdamai dengan Sejarah
2. Buku
Api Sejarah karya Ahmad Mansur Suryanegara
3. Wikipedia.org.