Oleh Anis Matta
Pahlawan bukanlah manusia super. Ia tidak bisa menjadi
segalanya, juga tidak dapat melakukan semuanya. Akan tetapi, inilah perkara
mentalitas yang paling rumit yang dirasakan setiap pahlawan; menyadari dan
menerima dengan lapang dada keterbatasan dirinya.
Mungkin itu salah satu sebabnya Rosulullah saw mengeluarkan
sebuah sabda yang menyejukkan dada mereka, “Allah
akan merahmati seseorang yang mengeahui kadar kemampuan dirinya.” Bukan hal
yang mudah untuk menyadari dua hal yang antagonis; kehebatan dan keterbatasan,
kebanggaan dan kerendahan hati.
Itulah yang dialami Jenderal Mc. Arthur. Lelaki gagah berani
dan ahli strategi ini adalah pahlawan perang terbesar dalam sejarah Amerika. Dialah
panglima perang Amerika yang memenangkan hampir semua pertempuran di kawasan
pasifik, termasuk penaklukkan Jepang, selama tahun-tahun panjang Perang Dunia
Kedua. Walaupun sempat menderita beberapa kekalahan, khususnya pada beberapa
pertempuran di semenanjung Korea saat menghadapi aliansi Korea Utara, China,
dan Uni Soviet, tetapi semua itu tidak mengurangi kebesarannya.
Maka, 12 juta penduduk Amerika Serikat tumpah ruah ke jalan
menyambut kedatangannya. Laki-laki inilah yang sampai kini dikenang sebagai
orang yang bukan saja mengantar Amerika memenangkan Perang Dunia Kedua, tetapi
juga membangun fondasi yang kokoh bagi dominasi militer Amerika atas dunia.
Akan tetapi, panorama 12 juta massa itulah masalahnya. Itu benar-benar
menggoda sang Jenderal untuk tidak berhenti pada sekadar menjadi seorang
legenda perang, tetapi juga untuk menjadi seorang politisi ulung yang cukup
layak menduduki kursi presiden Amerika Serikat, negara yang diantarnya menjadi
pemenang Perang Dunia Kedua.
Presiden Truman menangkap godaan itu pada wajah Sang
Jenderal. Sebagai politisi, firasat itu benar-benar menggelisahkan Sang
Presiden. Namun, menjadi legenda perang dan legenda politik adalah spesialisasi
kepahlawanan yang sangat berbeda. Sang Presiden menyadari perbedaan ini, maka
ia menjadi percaya diri. Akan tetapi , Sang Jenderal tidak memahami perbedaan
ini, maka ia melakukan kesalahan.
Demikianlah kejadiannya kemudian. Dua belas juta massa itu
adalah lautan kekaguman atas legenda perang mereka, yang dalam pemilihan
presiden ternyata sama sekali tidak bisa dirubah menjadi suara pemilih. Itu fakta
yang sangat tragis bagi Sang Jenderal: dia adalah legenda perang, bukan legenda
politik; dia adalah panglima perang, bukan seorang presiden.
Akarnya ada pada struktur mentalitas para pahlawan;
menyadari antagonisme antara kehebatan dan keterbatasan, antara kebanggaan dan
kerendahan hati. Itulah pelajaran kepahlawanan yang paling rumit; menerima
keterbatasan dengan lapang dada, menerima takdir kepahlawanan yang terbatas
dengan rendah hati. Sebab, kita memang hanya seorang manusia. Bukan Tuhan.
Diambil dari buku Mencari Pahlawan Indonesia karya Anis Matta