Tgk. Imam Muchtar Andhika : Ada 6 Hal yang Membuat Hati Rusak

[WARTANUSANTARA.ID] Imam muda Tgk. Muchtar Andhika mengisi khutbah jum'at di masjid sirajul munir sirui, gampong batee shok, kota sabang 17/10/25.

‎Manusia diharapkan selalu menjaga kondisi hati agar tidak rusak. Oleh karena itu, ada sejumlah hal yang harus dilakukan demi memastikan hati tetap sehat. Dengan demikian akan memiliki kepekaan dan kemudahan beribadah kepada Allah SWT serta kepedulian sosial "ujarnya".
‎Ia menambahkan Untuk menjaga agar hati tetap sehat, kiranya perlu menjawab sebuah pertanyaan: Apa yang menyebabkan hati rusak? Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Munabbihât 'ala Isti'dâdi li Yaumil Mî'âd memaparkan penjelasan Imam Hasan al-Bashri bahwa setidaknya ada enam hal yang membuat hati menjadi rusak.   
‎ 1. berbuat dosa dengan berharap taubat
‎Yang bersangkutan sadar bahwa apa yang dilakukan adalah kedurhakaan, tapi berangan-angan bisa menghapus kesalahan-kesalahan di kemudian hari. Ini merupakan sebuah kesombongan karena terlalu percaya diri bahwa Allah akan memberikan kesempatan lalu melimpahinya rahmat. 
‎Juga masuk kategori sikap meremehkan karena perbuatan dosa yang dilakukan bukan karena perampokan melainkan kesengajaan. Alih-alih tobat bakal datang, bisa jadi justru hati makin gelap, dosa-dosa kian menumpuk, dan kesadaran untuk kembali kepada Allah makin tumpul.   
‎2. belajar tapi tidak mengamalkan ilmunya
‎ al-'ilmu bilâ 'amalin kasy syajari bilâ tsamarin (ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah). Pengamalan dalam kehidupan sehari-hari dari setiap pengetahuan tentang hal-hal baik adalah tujuan dari ilmu. Hal ini juga penanda akan menjadi keberkahan ilmu. 
‎ 
‎Pengertian 'tidak mengamalkan ilmu' bisa dua: Mendiamkannya hanya sebagai koleksi pengetahuan di dalam kepala, atau si pemilik ilmu melakukan yang dibandingkan dengan ilmu yang dimiliki. Kondisi ini bisa menyebabkan rusaknya hati.   
‎3. beramal namun tidak ikhlas
‎Setelah ilmu diamalkan, urusannya belum sepenuhnya beres. Sebab, manusia masih dihinggapi hawa nafsu dari mana-mana. Ia mungkin saja berbuat baik berkali-kali, namun sia-sia belaka karena tidak ada ketulusan berbuat baik. Ikhlas adalah hal yang cukup berat karena meniscayakan kerelaan hati meskipun ada yang dikorbankan.   
‎ 
‎4. mengonsumsi rezeki dari Allah dan tidak bersyukur
‎Karunia dan syukur merupakan pasangan yang tak bisa dipisahkan. Jika tidak ada kehidupan manusia di dunia ini yang luput dari karunia Allah, maka bersyukur adalah pilihan sikap yang wajib. Orang yang tak mau bersyukur adalah yang tidak memahami hakikat rezeki.
‎ 
‎Jenis anugerah Allah mungkin ia batasi hanya pada ukuran-ukuran yang bersifat materi belaka, misalnya jumlah uang, rumah, jenis makanan, dan lain-lain. Padahal, rezeki telah diterima setiap saat, berupa kenikmatan bendawi maupun nonbendawi. Mulai dari napas, waktu luang, akal sehat, hingga berbagai kecukupan kebutuhan lainnya seperti makan, tempat tinggal, dan pakaian. Hanya mereka yang sanggup memikirkannya yang akan jauh dari kufur nikmat alias tidak bersyukur.   
‎Syekh Nawawi al-Bantani dalam Nashaihul 'Ibad mengartikan syukur dengan ijrâ'ul a'dlâ' fî mardlâtillâh ta'âlâ wa ijrâ'ul amwâl fîhâ (menggunakan anggota badan dan harta benda untuk sesuatu yang mendatangkan ridha Allah). Artinya, selain ucapan 'alhamdulillah', kita dianggap bersyukur bila tingkah laku, termasuk dalam penggunaan kekayaan, bukan untuk jalan maksiat kepada Allah.   
‎5. tidak rida akan pembagian Allah
‎Pada level ini, orang bukan hanya tidak mau mengucapkan rasa syukur, tapi juga sering mengeluh, merasa kurang, bahkan dalam keadaan yang ekstrem melakukan protes kepada Allah. Allah memberikan kadar rezeki pada hamba sesuai dengan proporsional. Tidak ada hubungan langsung bahwa yang kaya adalah mereka yang paling disayangi Allah, sementara yang miskin adalah yang sedang dibenci Allah. Bisa jadi justru apa yang kita sebut 'kurang' sebenarnya adalah kondisi yang paling pas agar aman dari tindakan yang melampaui batas. 
‎Betapa banyak orang memberikan harta namun malah lalai dengan tanggung jawab kehambaan: boros, sombong, berfoya-foya, kikir, tenggelam dalam kesibukan duniawi dan lupa akhirat, dan lain-lain.
‎6. Mengubur orang mati namun tidak mengambil pelajaran 
‎Peristiwa kematian adalah nasihat yang lebih gamblang daripada pidato-pidato dalam panggung ceramah. Ketika ada orang meninggal, kita menyajikan fakta yang jelas bahwa kehidupan dunia ini fana. Liang kuburan adalah momen perpisahan kita dengan seluruh kekayaan, jabatan, status sosial, dan popularitas yang pernah dimiliki. Selanjutnya, orang mati akan dihadapkan dengan semua tanggung jawab atas apa yang ia lakukan selama hidup di dunia.    
‎Dengan mengetahui enam perkara yang dapat menyebabkan rusaknya hati, maka diupayakan hal tersebut dihindari. Agar kita memiliki kepekaan hati dan kepedulian sosial sebagai insan terbaik "pungkasnya".

0/Post a Comment/Comments